Info Teknologi

Thrips Pada Tanaman Cabai dan Cara Pengendaliaannya

Sering dialami oleh petani yang awalnya tanaman cabainya tumbuh baik dan subur tiba-tiba pucuk-pucuk daunnya terlihat mengkerut. Rasa putus asa mucul di benak petani ketika berbagai cara sudah dilakukan akan tetapi belum dapat memperbaiki kondisi pohon cabai mereka. Hama thrips itulah yang menyerang tanaman cabai milik petani. Thrips dapat menyebabkan daun tanaman cabai menjadi kriting. Resiko terburuk apabila serangan thrips dibiarkan tanaman cabai tidak dapat panen alias gagal total.

Apabila kita melihat pada pucuk tanaman cabai serangga yang berukuran kecil panjangnya kurang lebih 0,5 -1,5 mm besar kemungkinan itulah hama thrips. Hama thrips menyerang tanaman cabai dengan cara menghisap cairan tanaman pada daun muda dan bunga. Gejala yang ditimbulkan dari serangan hama thrips ini terlihat pada permukaan bawah daun atau bunga. 

 Gejala fisik yang terlihat pada tanaman cabai adalah adanya bercak-bercak putih atau keperak-perakan/ kekuning-kuningan terutama pada permukaan bawah daun cabai.  Bercak-bercak awalnya tampak dekat dengan tulang daun kemudian menjalar ke tulang daun hingga seluruh permukaan daun menguning. Serangan berat daun menjadi berwarna coklat, mengeriting, menggulung sampai akhirnya menjadi kering. Pada akhirnya pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan tidak dapat menghasilkan bunga.

 Pencegahan

Beberapa cara telah dilakukan untuk mengendalikan hama thrips. Sebaiknya pengendalian hama dimulai dari pencegahannya. Tehnik pencegahan agar tanaman tidak terserang hama thrip adalah sebagai berikut:

  1. Bibit tanaman cabai yang akan ditanam berasal dari varietas yang tahan terhadap hama thrips.
  2. Menjaga kebersihan lingkungan tanaman dengan melakukan penyiangan gulma.
  3. Usahakan menyiram tanaman dengan menggunakan springkler, agar daun-daun tanaman ikut tercuci.
  4. Juahkan tanaman cabai dari tanaman-tanaman yang menjadi inang bagi hama thrips

 Pengendalian

Tanaman cabai yang sudah terlanjur terserang hama Thrips dapat dilakukan pengendalian baik secara mekanis, biologis maupun kimia.

  1. Pengendalian secara mekanik dapat dilakukan dengan memotong daun yang terserang hama atau mencabut tanaman jika belum terjadi serangan yang banyak. Tetapi jika sudah terjadi serangan pada seluruh tanaman apalagi adanya serangan virus yang akut mau tidak mau harus dilakukan pencabutan dan pembakaran untuk mencegah serangan hama pada periode tanam mendatang.
  2. Pengendalian secara teknis dengan memberikan jeda pada periode tanam berikutnya dengan tidak menanami lahan dengan tanaman yang sejenis.
  3. Pengendalian secara biologis, yaitu menyemprotkan biopestisida nabati dari larutan daun antawali, kapur dan kunyit.
  4. Pemulihan tanaman yang telah sembuh dari serangan hama thrips yang dapat dilakukan dengan pemupukan dan penyemprotan zat perangsang tumbuh seperti  GA3, Atonik, atau pupuk  daun.
  5. Adapun cara pengendalian hama penyebab daun keriting setelah terjadi serangan adalah melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif abamektin, karbosulfan, fipronil atau imidakloprid.

Penglolaan Terpadu Budidaya Cabai Rawit

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala pada budidaya tanaman cabai rawit yaitu dengan menerapkan teknologi budidaya rendah input kimia dan teknologi budidaya konservasi yang diimplementasikan pada Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) cabai rawit.

Cabai rawit dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Cabai rawit tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Volume peredarancabe rawit di pasaran cukup besar, hal ini mengakibatkan harga cabai rawit sangat berpluktuatif. Mengamati pluktuasi harga komoditas cabai rawit menjadi bagian yang sangat menarik. Pada waktu-waktu tertentu (perubahan musim dan hari raya) harga cabai dapat melonjak tajam dan pada saat produksi melimpah harga drastis turun.

Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura  tahun 2010, Produksi cabai rawit di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga impor cabai masih diperlukan sekitar 16.000 ton per tahun. Sedangkan rata-rata produksi cabai nasional baru mencapai sekitar 4,35 t/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 10 – 20  t/ha. 

Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan suatu pendekatan budidaya tanaman yang berdasarkan pada keseimbangan ekonomi dan ekologi, dengan tujuan utamanya adalah meraih keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, antara proses alami dan teknologi, dengan selalu mengingat keberlanjutan dari usahatani cabe.

Teknis Budidaya Cabai Rawit Dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu

Persemaian

Kebutuhan benih cabai rawit per hektar berkisar antara 100-125 gram. Bedengan persemaian dibuat arah utara selatan menghadap ketimur. Media semai dibuat dari campuran tanah dan kompos steril dengan perbandingan 1:1. Benih ditaburkan secara merata diatas media semai kemudian ditutup dengan tanah tipis, disiram dan ditutup dengan daun pisang. Daun pisang dibuka secara bertahap. Setelah umur semaian kurang lebih 7 hari, semain dipindahkan ke bumbunan yang terbuat dari daun pisang yang diisi campuran dan kompos steril dengan perbandingan 1:1, dan dipilih bibit yang sehat dan pertumbuhannya bagus. Bibit berumur kurang lebih 30-35 hari setelah semai atau telah mempunyai 5-6 helai daun siap untuk dipindahkan kelapangan.

Penyiapan Lahan dan Penanaman

Apabila lahan yang hendak dipakai merupakan lahan kering atau tegal, maka tanah harus dibajak dan dicangkul sedalam 30-40 cm dan dibalik, kemudian bongkahan tanah dihaluskan dan sisa pertanam sebelumnya dibersihkan agar tidak menjadi sumber penyakit. Pembuatan bedengan dengan lebar 1-1,2 m, tinggi 40-50 cm (disesuaikan dengan kondisi tanah saat hujan, agar kelengasan tanah terjaga namun tidak tergenang bila turun hujan) dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan.

Jarak antar bedeng kurang lebih 40-50 cm (disesuaikan dengan kemudahan pemeliharaan  dan agar draenasenya berlangsung dengan baik). Pemberian kapur pertanian (jika kondisi tanah terlalu masam) dilakukan pada saat pengolahan tanah, 2-3 minggu sebelum tanam, dengan cara ditaburkan tipis di permukaan tanah kemudian dicampur rata dengan tanah. Permukaan bedengan dibuat agak setengah lingkaran untuk mempermudah pemasangan mulsa. Pemberian pupuk kandang diberikan pada saat pengolahan tanah. Kemudian mulsa hitam perak dipasang.

Jarak tanam yang digunakan dalam penanaman cabai rawit adalah 70 cm x 70 cm atau 60 cm x 70 cm. Pada jarak tanam yang telah ditentukan dibuat lubang tanam pada mulsa plastik dengan menggunakan kaleng yang dipanaskan. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman 15-20 cm dan diameter 20-25 cm, dan dibiarkan satu malam baru keesokan harinya bibit ditanam.

Pemeliharaan

Pemeliharaan terdiri dari penyulaman, pemasangan ajir, penyiraman, pengaturan drainase, penyiangan, penggemburan, pemupukan. Penyulaman terhadap bibit yang mati maksimal 2 minggu setelah tanam. Pemasangan ajir berupa bilah bambu setinggi kurang lebih 1 meter di dekat tanaman. Penyiraman harus diperhatikan agar tanaman tidak kekeringan terutama pada musim kemarau. Pemberian mulsa hitam perak selain berfungsi untuk mengurangi populasi hama juga membantu menjaga kelembaban tanah. Pada musim penghujan pengaturan draenase harus diperhatikan agar lahan tidak tergenang air karena hal tersebut dapat meningkatkan serangan penyakit akibat kelembaban tinggi. Penyiangan terhadap gulma dilakukan pada umur tanaman 1 bulan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi kompetisi tanaman dengan gulma dalam mendapatkan unsur hara.

Pemupukan disesuaikan dengan kondisi lahan setempat. Kebutuhan pupuk meliputi pupuk kandang 10-30 ton/ ha, urea 200-300 kg/ ha, SP-36 200-300 kg/ ha dan KCL 150-25 kg/ ha. Pemberian pupuk kandang dan kapur pertanian dilakukan saat pembuatan bedengan. Pupuk buatan sebagai pupuk dasar diberikan dengan cara membuat larikan berjarak 25-30 cm dari tepi bedengan dan jarak antar larikan 70 cm, kemudian taburkan pupuk secara merata pada larikan tersebut. Pemberian pupuk dasar ini dilakukan sebelum pemasangan mulsa sebanyak setengah dosis. Pemupukan susulan diberikan pada saat tanaman berumur satu bulan, menggunakan sisa pupuk dasar. Pemupukan susulan ini bisa diberikan dengan cara dicor, setiap tanaman disiram dengan 150-250 ml larutan pupuk. Larutan pupuk dibuat dengan mengencerkan 1,5-3 kg pupuk buatan per 100 liter air. Karena tanaman cabai rawit merupakan tanaman tahunan yang masih dapat berproduksi sampai 2-3 tahun maka sebaiknya dilakukan pemupukan ulang sesuai kebutuhan agar produksinya terus bertahan.

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Hama lalat buah dapat dikendalikan dengan  pemasangan perangkap lalat buah yang mengandung metil eugenol. Hama-hama pengisap seperti kutu daun, trips dan kutu kebul dapat dikendalikan dengan pemasangan mulsa plastik hitam perak dan juga pemasangan perangkap lalat kuning. Penyakit anthraknose dapat dikendalikan dengan penggunaan varietas tahan dan juga penggunaaan fungisida secara efektif. Apabila dalam mengendalikan OPT menggunakan pestisida, maka harus benar dalam pemilihan jenis, dosis, volume semprot, cara aplikasi, interval, dan waktu aplikasinya.

Panen dan Pasca Panen

Pada saat panen, buah yang rusak sebaiknya dimusnahkan, kemudian buah yang dipanen dimasukkan dalam karung jala dan kalau akan disimpan sebaiknya disimpat di tempat yang kering, sejuk dan sirkulasi udara yang baik.

 

Bahan Bacaan:

Direktur Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2010.  Statistik Hortikultura tahun 2010. Dirjen Hortikultura , Departemen Pertanian, Jakarta 125 hal.

Setiadi. N.J. 2008. Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi Untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Kencana. Jakarta

Setiawati, W. 2010.  Modul Pelatihan SL-PTT Cabai Merah – Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Memangkas Jeruk dengan Benar

 

Permintaan akan jeruk sebagai salah satu komoditas unggulan hortikultura nasional diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pola hidup masyarakat dengan tingkat konsumsi jeruk sebesar 2.24 kg/kapita/tahun. Peningkatan ini disebabkan buah jeruk sebagai sumber vitamin, mineral, serat, bahan pemenuhan selera estetika dan keperluan keagamaan. Produksi jeruk dalam negeri belum sepenuhnya dapat memenuhi permintaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah teknik budidaya yang masih belum optimal. Pemeliharaan tanaman jeruk secara optimal salah satunya adalah dengan teknologi pemangkasan yang baik, sehingga kesehatan pohon, produktivitas tanaman dan mutu buah dapat ditingkatkan. Dalam budidaya jeruk dikenal ada dua macam pemangkasan, yaitu pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan.

 

1. Pemangkasan Bentuk

Pemangkasan bentuk dilakukan pada tanaman yang belum produksi (umur 0 - 3 tahun) atau berdasarkan ketegaran pertumbuhan tanaman di lapangan. Tujuannya untuk membentuk kerangka atau struktur percabangan atau sering disebut arsitektura pohon yang diinginkan. Bentuk percabangan yang paling ideal adalah mengikuti format 1-3-9, yaitu terdiri dari 1 batang utama, 3 cabang primer dan 9 cabang sekunder.  Produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh luas permukaan dan bukan volume tajuk. Artinya, makin luas bagian tajuk yang terkena sinar matahari, makin tinggi produktivitasnya.

 

2. Pemangkasan Pemeliharaan

Pemangkasan pemeliharaan yaitu pemangkasan yang dilakukan pada tanaman yang sudah produktif, berumur > 3 tahun dan biasanya dilaksanakan sesudah panen dengan tujuan menyeimbangkan pertumbuhan vegetatif dan generatif. Manfaat dari pemangkasan pemeliharaan adalah : (1)  mempertahankan bentuk arsitektur pohon dari bentuk format bakunya, (2) mengurangi terjadinya fluktuasi pembuahan tahunan, (3) mempertahankan iklim mikro ideal di sekitar tanaman dengan minimal 30% sinar matahari dapat menembus ke bagian dalam tajuk tanaman, sehingga kondisi tanaman dan kebun tidak terlalu lembab yang dapat mengurangi tingkat serangan hama dan terutama penyakit, (4) mengefisienkan pemeliharaan kebun, (5) meningkatkan umur produktif pohon dan (5) menghilangkan ranting-ranting rusak. 

Pemangkasan berat dilakukan setelah panen, banyak obyek yang harus dipangkas dengan tujuan utama mengatur pembungaan berikutnya, sedangkan pemangkasan ringan dilakukan untuk setiap saat guna menjaga bentuk ideal pohon. Tahapan pemangkasan pemeliharaan adalah : (1) memotong cabang/ranting harus dilakukan di bagian pangkal cabang/ranting tersebut, supaya tidak tumbuh tunas lagi, (2) memotong tunas-tunas yang tumbuh di pangkal batang bawah karena akan mengganggu pertumbuhan batang utama, (3) memotong tunas air yang tumbuh cepat, sehingga pertumbuhan tunas lain terhambat, berduri dan tidak sulit berbuah berbuah, (4) memotong ranting-ranting kecil yang pertumbuhannya mengarah kedalam bagian tanaman karena hanya akan menjadi sarang hama dan penyakit, (5) membuang ranting-ranting kering sehingga akan tumbuh tunas yang baru, (6) memotong ranting atau tunas yang terserang hama penyakit sekaligus membuang sumber penularannya, (7) mengurangi jumlah ranting/tunas pada tajuk yang berlebihan sehingga jumlah tidak terlalu lebat, (8) menggunting bekas tangkai buah supaya tumbuh tunas bunga pada ranting tersebut sehingga produktivitasnya relatif stabil, (9) mengumpulkan ranting-ranting bekas pangkasan di satu tempat kemudian dibakar supaya sanitasi kebun dapat terjaga.

 

BAHAN BACAAN

Dwiastuti, M. E., A. Triwiratno, O. Endarto, S. Wuryantini, dan Yunimar. 2011. Panduan Teknis Pengenalan dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Pusat Penelitian Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian

Supriyanto, A., M.E. Dwiastuti., A. Triwiratno, O. Endarto dan Suhariyono. 2010. Panduan Teknis Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS). Strategi Pengendalian CVPD. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub Tropika. Puslitbang Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 45 hal.

Sutami, N.P., N.P. Suratmini., N.N. Arya., N.M.D. Resiani., J. Rinaldi., E.N. Jati., I.M. Budiartana., S.U. Asih. 2016.  Laporan Akhir Tahun Pendampingan Pengembangan Kawasan Jeruk. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar. 56 hal.

Menyelamatkan Pisang dari Serangan Layu Fusarium

 

Peluang pengembangan agribisnis komoditas pisang di Indonesia masih terbuka luas. Secara umum tanaman pisang dapat dibudidayakan hampir diseluruh daerah di Indonesia. Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian tidak lebih dari 1.600 m di atas permukaan laut (dpl).

Untuk keberhasilan usahatani pisang petani pisang perlu memperhatikan penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan bagi tanaman pisang.  Penyakit pisang dapat mengakibatkan turunnya kualitas dan kuantitas produksi.

Salah satu penyakit utama tanaman pisang adalah penyakit layu fusarium. Nama lain dari layu fusarium adalah penyakit Panama yang disebabkan oleh cendawan. Penyakit ini sukar dikendalikan, mudah berpindah dan mampu bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu yang cukup lama.

Gejala Penyakit Layu Fusarium

Gejala yang ditimbulkan pada tanaman pisang yag terserang :

  1. Daun tua berwana Kuning kehijauan. Dimulai dari pinggir daun berlanjut ke daun yang lebih muda. Daun paling muda yang baru membuka, adalah daun yang paling terakhir yang memperlihatka gejala.
  2. Batang semu pecah membujur beberapa cm di atas tanah. Dapat juga terjadi pada tanaman muda atau anakan. Anakan menjadi kerdil, daun meyempit, batang semu pecah dan mengembang ke atas.
  3. Tangkai Daun dan Bagian Dalam Batang Semu Bila dipotong, ditemukan jaringan/benang berupa garis berwarna coklat/hitam/ungu/kekuningan.
  4. Bonggol Bila dipotong, bagian tengah berwarna hitam, coklat atau ungu.
  5. Buah umumnya tidak sampai panen. Bila panen ukurannya menjadi kecil, layu dan matang sebelum waktunya.
  6. Tampilan Jatung awalnya normal, kemudian tumbuh kerdil dan layu. Bila dipotong tidak memperlihatkan perbedaan dengan jantung pisang yang sehat.

Pengendalian Layu Fusarium

  1. Penggunaan bibit bebas penyakit yaitu bibit yag diambil dari lahan yang diyakini benar-benar bebas dari penyakit layu Fusarium (FOC). Bibit pisang yang berasal dari kultur jaringan adalah salah satu bibit pisang yang bebas penyakit. Namun bibit yang bebas penyakit ini haya dapat bertahan bila pada lahan tidak ada bibit penyakit layu fusarium.
  2. Melakukan pergiliran tanaman.

Melakukan sanitasi lahan, yaitu membersihkan gulma seperti rumput teki dan bayam-bayaman, gulma tersebut merupakan inang sementara bibit penyakit layu Fusarium (FOC).

  1. Melakukan pengamatan cepat keberadaan FOC. Pada lahan yang akan ditanami pisang, terutama lahan baru sebaiknya dilihat terlebih dahulu ada atau tidaknya FOC. Caranya, ambil tanah dari lahan yang akan digunakan sebagai lahan pertanaman pisang, masukkan ke dalam kantong atau ember plastik setinggi 25 cm. Campurkan kompos kotoran ayam dengan perbandingan 2 bagian kompos kotoran ayam dan 8 bagian tanah. Biarkan 15 hari, lalu tanamkan anakan rebung pisag yang tidak tahan terhadap FOC (ambon kuning), kemudian amati pisang yang ditanam akan memperlihatkan gejala penyakit layu fusarium.
  2. Menanam jenis pisang yang tahan terhadap FOC seperti Janten/Ketan, Muli, Taduk, Raja Kinalun/Pisang Prancis, FHIA-25 dan FHIA-17.
  3. Pemakaian agensia hayati: Trichoderma sp, Gliocladium sp. Dan Pseudomonas fluorescens. Pada prinsipnya penggunaan agensia hayati masih bersifat pencegahan. Agensia hayati digunakan pada saat tanam atau dimasukkan pada lubang tanam.
  4. Jangan membawa atau memindahkan bahan tanaman (bibit pisang) dari lokasi yang telah terserang ke lokasi/daerah yag masih bebas penyakit.
  5. Melakukan eradikasi atau pemusnahan dengan membasmi sumber bibit penyakit (tanaman sakit) dengan membongkar dan membakar atau penyuntikan menggunakan Herbisida dengan dosis 12 cc untuk tanaman induk, 2,5 cc untuk anakan berumur 4-6 bulan (tinggi 50 – 100 cm) dan 1 cc untuk anakan berumur kurang dari 4 bulan ( tinggi< 50 cm). Injeksi menggunakan minyak tanah dengan takaran 5 sendok makan untuk tanaman induk, 3 sendok makan untuk tanaman berumur 4-6 bulan dan 1-2 sendok makan untuk tanaman berumur kurang dari 4 bulan. Penyuntikan dilakukan 20-40 cm di atas leher akar untuk tanaman induk dan sekitar 10-15 cm untuk tanaman anakan. Penyuntikan dilakukan sampai pada bagian tengah (empulur) tanaman pisang dengan sudut kemiringan 60°.
  1. Sterilisasi alat panen seperti pisau, parang atau golok menggunakan desinfektan misalnya menggunakan bayclean atau alkohol. Alat pertanian lainnya seperti cangkul, sekop dan lain-lain, disarankan untuk selalu dicuci dengan sabun dan disterilkan, terutama ketika alat tersebut digunakan secara berpindah-pindah antar kebun (adiwirawan/swk).

 

Sumber Bacaan : Balitbangtan. 2008. Seri Buku Inovasi Teknologi Budidaya Pisang

"Suweg" dan "Gembili" Sebagai Sumber Pangan Lokal

Permasalahan utama yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaan.  Permintaan yang meningkat merupakan resultant dari peningkatan jumlah pendududk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Ketahanan pangan tidak hanya menyangkut kuantitas pangan dan kalori melainkan juga mencakup kebutuhan protein dan komposisi gizi esensial lainnya.

Ketahanan pangan nasional menghadapi sejumlah tantangan antara lain :

1. Peningkatan produksi padi semakin sulit karena semakin menyusutnya lahan produktif akibat alih fungsi lahan, keterbatasan infrastruktur dan produktivitas.

2. Pola konsumsi pangan yang belum bergizi seimbang dan aman serta sangat tergantung pada beras.

3. Sistem distribusi dan tataniaga pangan yang belum efisien sehingga menyebabkan harga yang tinggi di tingkat konsumen.  

4. Ketergantungan Indonesia terhadap beras yang tinggi  membuat indonesia rawan pangan (rawan beras) atau ketahanan pangan nasional sangat rapuh. 

5. Dari aspek kebijakan pembangunan makro kondisi tersebut mengandung resiko yang terkait dengan stabilitas ekonomi, sosial dan politik. 

Menurut ASEAN Food Security Information and Training Center 2009, untuk mencapai ketahanan pangan yang mantap maka rasio cadangan pangan terhadap kebutuhan domestik (food security ratio) setidaknya 20%. Masalah dan tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai status ketahanan pangan yang mantap cukup berat  karena rata-rata rasio cadangan pangan (beras) terhadap penggunaan baru mencapai 4,38 padahal yang diperlukan untuk mencapai status mantap adalah > 20 disamping itu angka kemiskinan juga masih  cukup tinggi.

Diversifikasi merupakan salah satu komponen strategis pemantapan ketahanan pangan. Meningkatnya jumlah penduduk (1,5% per tahun), meningkat pula  kebutuhan akan  beras yang berarti menuntut peningkatan produksi beras nasional.  Upaya peningkatan produksi padi  dihadapkan pada berbagai kendala dan masalah dimana   Masalah utamanya adalah alih fungsi lahan yang terus meningkat, adanya anomali perubahan iklim (ancaman kekeringan, kebanjiran, serangan hama penyakit), produktivitas sumber daya alam (lahan dan air) menurun, biaya produksi semakin mahal dan adanya pelandaian produksi padi.

Potensi Sumber Pangan Lokal sumber karbohidrat non beras 

Umbi-umbian merupakan sumber pangan lokal potensial yang dapat dikembangkan, disamping sebagai sumber karbohidrat pengganti beras, aneka ragam umbi-umbian terbukti dapat mencegah beberapa penyakit seperti penyakit diabetis mellitus, mencegah sembelit atau kanker usus. Umbi-umbian memiliki kandungan senyawa bioaktif yaitu serat pangan dan polisakarida yang dapat berperan untuk menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus.

Kenyataannya di lapangan umbi-umbian selain ubi jalar, singkong dan talas semakin hilang dari kebun rakyat dan di pasaran bahkan pamor dan martabat umbi-umbian jatuh oleh dominasi beras. Beberapa jenis umbi-umbian yang keberadaannya semakin langka di pasaran dan generasi muda sudah tidak mengenalnya  lagi adalah  jenis  Suweg dan  Ubi aung (gembili), padahal kedua jenis ubi ini jaman dahulu merupakan jenis ubi yang sangat digemari masyarakat karena rasanya enak, empuk dan legit, untuk itulah  kedua jenis ubi ini  perlu dilestarikan.

Suweg (Amorphophallus campanulatus B)

Merupakan salah satu tanaman umbi minor di Indonesia selain talas, gadung, bentul, dan umbi lainnya yang dapat digunakan untuk diversifikasi pangan. Tanaman suweg juga merupakan tanaman herba yang dapat ditanam di bawah tegakan dengan intensitas cahaya rendah dan masih dapat tumbuh pada naungan hingga 60%, sehingga dapat digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan. Tanaman ini juga tumbuh baik hingga elevasi 2.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.000 - 1.500 mm per tahun. Selain itu Suweg dapat tumbuh pada tanah dengan pH agak masam hingga netral. Tanaman suweg sudah dikenal oleh sebagian petani di Jawa, Sumatera dan Bagian Timur Indonesia, namun karena terdesak oleh sumber karbohidrat lain atau beras, maka tanaman ini tidak berkembang.

Tanaman suweg dapat ditanam di tegalan, selain itu juga dapat di tanam di pekarangan yang sekaligus dapat berperan sebagai tanaman hias. Pertumbuhan tanaman suweg diawali dengan munculnya semacam kuncup bunga dari dalam tanah pada awal musim hujan. Kuncup bunga tersebut merupakan tunas, kemudian tumbuh menjadi tanaman suweg.

Pada musim kemarau daun suweg menguning, dan lama kelamaan mati. Pada rumpun tanaman suweg yang mati tersebut terdapat umbi yang dapat digunakan sebagai bahan makanan yang mengandung serat tinggi sekitar 13,71 % dan lemak rendah sekitar 0,28 %. Umbi suweg dapat dipanen 1 - 2 tahun setelah tanam, tergantung pada macam bibit dan jenis suweg yang ditanam. Produksi umbi suweg berkisar antara 30 - 200 ton per hektar umbi segar.Tepung umbi suweg baik untuk terapi diet penderita diabetes mellitus atau kencing manis karena Indeks Glisemik (IG) rendah.

Tanaman suweg juga dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit desentri, kolera dan pernapasan, mengurangi tekanan darah, mengurangi kholesterol, penyembuh rematik, dan pencernaan. Manfaat suweg sangat banyak sekali terutama untuk industri dan kesehatan, karena kandungan zat glucomanan yang ada di dalamnya.

 

Gembili (Discorea esculenta)

Budi daya tanaman Gembili, ''ubiaung'' sebutan untuk di Bali tidak begitu sulit. Curah hujan yang dibutuhkan adalah 875- 1750 mm/tahun dengan distribusi yang merata sepanjang tahun. Suhu minimal yang diperlukan adalah tidak lebih rendah dari 22.7°C, sedangkan suhu lebih dari 35°C akan menyebabkan penurunan pembentukan dan jumlah umbi. Tanaman ini biasanya diusahakan pada dataran rendah, akan tetapi masih dapat tumbuh pada ketinggian 900 m dpl. Pembentukan umbi ditunjang oleh kondisi hari yang pendek, yaitu hari pada saat matahari bersinar kurang dari 12 jam. Kondisi tanah yang diinginkan adalah tanah yang gembur dengan tekstur ringan (berpasir), berdrainase baik banyak mengandung bahan organik, dan memiliki pH 5.5 – 6.5, tanaman gembili dapat menghasilkan 24.6 ton/ha di Malasyia, 20-30 ton/ha di Filipina, 70 ton/ha di Irian Jaya, dan 10-20 ton/ha di Papua Nugini. Sedangkan berat tiap umbinya mencapai 0.1-1 kg. Tanaman gembili memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan tanah yang gembur, tekstur tanah ringan, drainase baik, dan mengandung banyak bahan organik.

Umbi tanaman gembili biasanya digunakan sebagai sumber karbohidrat setelah dimasak atau dibakar. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai bahan campuran sayuran setelah dimasak, direbus atau digoreng. Sementara itu di Indonesia umbinya dipergunakan sebagai bahan makanan pokok pengganti beras dengan nilai tambahnya berupa rasa yang manis sehingga disukai orang. Umbi gembili mentah yang dipotong atau diparut halus dapat digunakan sebagai obat oles diatas luka memar atau bengkak, terutama di bagian leher.

Beberapa varietas Gembili ada yang mengandung racun dan dapat menimbulkan peradangan dikerongkongan jika umbi dimakan tanpa melalui proses pengolahan yang sempurna. Kandungan diosgenin (sejenis senyawa beracun yang khas dalam genus Dioscorea) umbigembili dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pil KB. Tanaman biasanya diperbanyak dengan menggunakan umbi beruntas minimal dua mata yang mempunyai waktu dominasi yang pendek. Berat umbi adalah 56-84 g. Selain umbi, tanaman tersebut dapat pula diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Namun cara terakhir ini kurang populer. Umbi sebaiknya ditanam pada waktu musim hujan yaitu antara bulan Oktober sampai Februari.Gembili layak panen setelah berumur 6-7 bulan sedangkan di Malaysia gembil dipanen setelah berumur 8-9 bulan.

 

Sumber :

1. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian  BPTP Bali tahun 2015,  Volume 13, Nomor 40

2. https://www.biodiversitywarriors.org/-3274.html

 

 

 

Subcategories

Subcategories